Sejumlah lembaga advokasi Hak Asasi Manusia di Papua meminta Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan pasukan gabungan TNI/Polri, untuk tidak saling klaim atau melontarkan tuduhan terkait konflik di Kabupaten Puncak, Papua. Eskalasi konflik bersenjata di Puncak adalah dampak dari berbagai kekerasan yang terjadi sebelumnya, dan tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan kekerasan.
ELSHAM Papua mengatakan peristiwa penembakan yang menewaskan dua orang guru di Beoga, Puncak, pada pekan lalu bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan dampak dari rangkaian panjang kekerasan di Papua. ELSHAM mencatat bahwa eskalasi konflik di Puncak meningkat cepat, ditandai adanya tujuh korban tewas sejak Januari 2021.
“ELSHAM Papua mencatat tujuh orang telah meninggal dunia sejak Januari 2021 sampai dengan 14 April 2021. Mereka meninggal karena pembunuhan, atau meninggal secara tidak wajar,” kata Direktur ELSHAM Papua, Pdt Matheus Adadikam STh saat diwawancarai Jubi pada Kamis (15/4/2021).
Untuk menghindari bertambahnya korban di Puncak maupun wilayah konflik bersenjata lain di Papua, ELSHAM Papua mendesak semua pihak yang bertikai agar menahan diri dan mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Para pihak yang bertikai, baik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun pasukan gabungan TNI/Polri harus memastikan agar masyarakat sipil tidak menjadi korban.
Adadikam menekakan semua pihak yang bertikai harus bersama-sama menghormati prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ia menyatakan Pasal 3 DUHAM menjamin hak setiap orang atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.
Menurutnya, ketentuan itu dipertegas dengan Pasal 6 DUHAM, yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan di depan hukum. “Hak hidup dilindungi Undang-undang Dasar 1945. Pasal 28A Undang-undang Dasar 1945 menyatakan ‘Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-tahankan hidup dan kehidupannya’,” kata Adadikam.
Untuk melindungi hak hidup setiap warga sipil di Puncak, Adadikam mendesak pemerintah dan pihak yang berwenang memberikan akses kepada lembaga independen untuk menginvestigasi kasus penembakan dua orang guru di Beoga, Puncak, pada pekan lalu.
“ELSHAM Papua menduga, selain TNI/Polri dan TPNPB, kemungkinan terdapat aktor lain. Untuk membuktikan hal itu, perlu investigasi mendalam dari pihak independen,” kata Adadikam.
Ia juga menekankan pentingnya akses bagi jurnalis lokal dan nasional untuk memasuki wilayah konflik dengan aman, agar sumber informasi pemberitaan media massa tidak hanya satu pihak dari para pihak yang bertikai. Informasi sepihak dari pihak yang bertikai memberi kesan saling klaim, dan akhirnya dikonsumsi publik. “ELSHAM Papua mendesak agar statement di media sosial yang menyudutkan pihak tertentu, baik TNI/Polri maupun TPNPB, sebaiknya tidak dipublikasikan secara meluas, karena akan membingungkan masyarakat,” ujar Adadikam.
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer menegaskan setiap kasus kekerasan di Papua semestinya diinvestigasi oleh tim yang bebas dari kepentingan para pihak yang bertikai. Tim investigasi itu harus bekerja sepenuhnya untuk mengungkapkan kebenaran atas kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua.”Setiap kasus harus bentuk tim independent untuk investigasi,” kata Kawer, Kamis.
Investigasi tim independen itu dibutuhkan untuk mengungkap kasus kekerasan yang terjadi, sekaligus mencari jejak senjata yang peluru yang digunakan untuk membunuh para korban. “Senjata apa, pelurunya, buatan dari mana, biasanya satuan mana yang pakai? Kalau TPNPB pakai peluru [itu], cari tahu, bagaiamana peluru itu sampai ke TPNPB,” kata Kawer.
Jika kasus kekerasan tidak diinvestigasi secara mendalam, termasuk asal-usul senjata dan peluru yang digunakan, masyarakat akan terus menerima informasi dan klaim sepihak dari para pihak yang berkonflik. “Kalau tidak diungkap, masyakat akan dibodohi-bodohi dengan [informasi klaim] kambing hitamnya,” kata Kawer.
Lebih dari itu, demikian menurut Kawer, negara harus membuka ruang dialog dengan kelompok pro kemerdekaan, demi memutus rantai kekerasan yang terus terjadi di Papua. Ruang dialog dengan kelompok pro kemerdekaan harus dibuka, mengingat kekerasan dan penembakan dilakukan oleh kelompok yang menuntut kemerdekaan. “Kalau tidak mau dialog, berarti kami bisa bisa tahu [dan menyimpulkan bahwa] konfliknya didesain untuk kepentingan [tertentu],” kata Kawer. (*)
Sumber : Jubi.co.id