Siaran Pers Solidaritas Merauke Mendesak Presiden dan Kementerian Pertahanan Menghentikan Proyek Strategis Nasional Pengembangan Pangan dan Energi Merauke yang Merampas Hak Hidup Orang Asli Papua dan Meningkatkan Krisis Lingkungan Hidup

Pada November 2023, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto,

menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 8 Tahun

2023 tentang Perubahan Keempat atas Permenko Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan

Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pada November 2023, yang menambahkan daftar Proyek

Strategis Nasional di Papua yakni Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di

Provinsi Papua Selatan, yang dipromosikan dan dicanangkan seluas lebih dari 2 (dua) juta hektar

pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP).

Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 wilayah distrik. Keseluruhan lokasi

proyek food estate PSN Merauke berada pada wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew,

Khimaima dan Yei. Diperkirakan lebih dari 50.000 penduduk asli yang berdiam di 40 kampung

sekitar dan dalam lokasi proyek akan terdampak dari proyek PSN Merauke.

Praktiknya PSN Merauke untuk proyek cetak sawah baru dan tanaman lain dikelola oleh

Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian, dan perusahaan swasta Jhonlin Group

milik Haji Andi Syamsuddin Arsyad alias haji Isam, dengan lahan seluas 1 (satu) juta hektar. PSN

Merauke lainnya yakni pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol dikelola 10 (sepuluh

perusahaan) dengan lahan seluas lebih dari 500.000 hektar dan didukung Satgas Percepatan

Swasembada Gula dan Bioetanol.

“Proyek berlangsung brutal, tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi mendapatkan

kesepakatan persetujuan masyarakat adat, kendaraan excavator dan bulldozer perusahaan

masuk ke wilayah adat kami, amuk, menggusur dan menghancurkan hutan alam, dusun dan

rawa,”, jelas Pastor Pius Manu, tokoh agama dan pemilik tanah adat.

Aparat keamanan TNI dan Polri mengawal masuknya kendaraan dan operasi penghancuran hutan

untuk proyek cetak sawah baru di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Masyarakat adat

membuat tanda adat larangan tapi excavator menabrak dan merobohkan sasi adat.

“Kami terluka dan berduka karena tanah dan hutan adat, tempat hidup binatang dan tempat

sakral Alipinek yang kami lindungi, yang diwariskan oleh leluhur kami, dihancurkan tanpa tersisa”,

ungkap Yasinta Gebze, perwakilan masyarakat adat terdampak dari Kampung Wobikel, Distrik

Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Di daerah Distrik Jagebob dan Senayu, perusahaan perkebunan tebu dalam konsorsium Global

Papua Abadi (GPA) Group tidak menunjukkan komitmen usaha berkelanjutan untuk tidak

melakukan deforestasi dan gagal menghormati hak-hak masyarakat adat. Perusahaan

menggunakan aparat keamanan dan orang tertentu melakukan tekanan terhadap masyarakat,

merayu dan janji kompensasi uang, agar masyarakat menyerahkan tanah.

“Kami tidak jual tanah adat, hutan dan dusun milik marga tidak luas, kami mau kelola sendiri

untuk mata pencaharian dan sumber pangan, hingga anak cucu”, ungkap Vincent Kwipalo, warga Suku Yei yang menolak proyek perkebunan tebu, meskipun perusahaan telah mematok tanahnya

dan membuat surat pengalihan hak atas tanah.

Kebijakan dan pelaksanaan proyek food estate PSN Merauke, tanpa pemberian informasi yang

jelas dan cenderung tertutup, tidak menghormati otoritas dan norma adat, tanpa ada kajian

sosial dan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan berbagai ketentuan

peraturan perundang-undangan. Penggusuran, penghancuran dan penghilangan hutan, dusun,

rawa dan lahan gambut dalam skala luas akan meningkatkan krisis lingkungan, yang sedang

menjadi sorotan masyarakat bumi.

“Areal cetak sawah baru sejuta hektar dan perkebunan tebu GPA Group berlokasi pada kawasan

hutan dan berada pada daerah moratorium izin atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB).

Areal GPA Group lebih dari 30 persen atau sekitar 145.644 hektar berada di PIPIB, karenanya

proyek ini mempunyai resiko lingkungan hidup utamanya meningkatkan emisi gas rumah kaca,

yang secara kumulatif meningkatkan krisis ekologi. Selain itu, izin perusahaan GPA sebagian besar

berada di wilayah adat masyarakat hukum adat Yeinan seluas 316.711 hektar dan beresiko secara

sosial ekonomi dan budaya”, kata Franky Samperante, aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup.

Prinsip dan ketentuan pembangunan berkelanjutan mewajibkan perencana dan pelaksana

pembangunan memiliki dokumen lingkungan, melaksanakan kajian penilaian kawasan bernilai

konservasi tinggi dan penilaian ketersediaan karbon tinggi, serta menerapkan prinsip FPIC (Free

Prior Informed Consent).

Gempuran proyek PSN Merauke dan bisnis ekstraksi sumber daya alam seluas lebih dua juta

hektar dipastikan akan mendatangkan dan memobilisasi penduduk baru dari luar Tanah Papua,

hal ini mengancam terjadinya depopulasi dan marginalisasi, yang pada gilirannya menghilangkan

identitas sosial budaya Orang Asli Papua dan tersingkir secara sosial ekonomi, yang disebut

etnosida.

“Proyek PSN Merauke harus dihentikan karena melanggar konstitusi dan peraturan yang

berkenaan dengan hak hidup, hak masyarakat adat, hak atas tanah, hak bebas berpendapat, hak

atas pembangunan, hak atas pangan dan gizi, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,

serta prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan”, jelas Teddy Wakum, juru bicara Solidaritas

Merauke dan aktivis LBH Papua Pos Merauke.

Dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta (16/10/2024),

Solidaritas Merauke mendesak Presiden RI dan Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian dan

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, segera menghentikan PSN

Merauke untuk pengembangan kebun tebu dan bioetanol, dan proyek cetak sawah baru sejuta

hektar.

 

Jakarta, 16 Oktober 2024

 

 

#SolidaritasMerauke #SavePapua #SavetheEarth

 

Kontak Person:

Teddy Wakum : +62 822-4245-0431 dan Franky Samperante: : +62 811-1256-019