Merekam Papua dalam buku “Damai Papua yang Tercabik”

Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKSC) Yuliana Langowuyo mengatakan, pihaknya mencetak buku seri Memoria Passionis No.39 berjudul “Damai Papua Yang Tercabik”.

Dari buku tersebut pihak SKPKC Fransiskan Papua berefleksi, pada 2020 hingga saat ini, hidup damai, tenang di tanah hak ulayat Papua sendiri masih sangat sulit dicapai orang Papua itu sendiri.

“Hal itu disebabkan karena adanya berbagai persoalan di Papua seperti rasisme dan ketidak adilan hukum, nasib otonomi khusus Papua, konflik bersenjata tak kunjung henti, operasi militer, gagalnya pendekatan keamanan, penyelesaian HAM di tanah Papua, Omnibus Law dan dampaknya terhadap lingkungan hidup dan masyarakat adat di tanah Papua. Persoalan ini yang kemudian didokumentasikan oleh SKP dalam buku yang dilaunching hari ini,” katanya kepada sejumlah wartawan di kantor SKPKSC, Rabu (30/3/2022).

Pada bab pertama dalam buku berjudul “Damai Papua Yang Tercabik”, membantu para pembaca untuk melihat ketidakadilan hukum yang terjadi pada orang Papua.

“Pada bab pertama, tim penulis memberikan fokus pada persoalan rasisme dan proses hukum yang dijalani bagi orang Papua yang melawan rasisme tersebut. Di bagian ini juga memberikan gambaran bagaimana keterbukaan dan solidaritas dari luar Papua yang berbicara tentang persoalan yang dialami oleh orang Papua,” katanya.

Pada bab kedua, dibeberkan pro -kontra tentang pelaksanaan Otsus untuk Papua.

“Pada buku bagaimana kami melihat dinamika pro dan kontra tentang Otsus untuk Papua. Pro kontra baik itu dari orang asli Papua sampai pada pengambil kebijakan atau pemerintahan yang membicarakan tentang Otsus itu sendiri,” katanya.

Bab Ketiga dari buku ini, pembaca akan melihat situasi konflik yang tak kunjung henti di Provinsi Papua. Baik dari konflik bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dan TNI Polri.

“Konflik yang berkepanjangan di tahun 2020 ini menyebabkan korban baik itu dari TPN PB, TNI Polri dan masyarakat sipil di Provinsi Papua. Ruang gerak masyarakat asli Papua di daerah konflik menjadi terbatas dan terusik perdamaiannya,” katanya.

“Pada Bab Keempat dari buku ini, tim penulis memberikan gambaran bagaimana nuansa atau pendekatan militerisme yang terjadi di Tanah Papua yang mengusik perdamaian masyarkat di kampung kampung,” katanya.

Pada Bab Kelima dari buku ini, tim penulis merekam dan mempaparkan bagaimana kemandekan penyelesaian HAM di Papua oleh Negara Indonesia.

“Selain itu, suara atau reaksi dari dunia internasional terhadap situasi HAM di Tanah Papua juga dipaparkan di dalam bab kelima ini,” katanya. Languwuyo mengatakan, di bagian akhir dari buku ini, Bab Keenam, tim penulis memaparkan tentang Undang-Undang (UU) Omnibus Law dan reaksi warga Papua terhadap produk peraturan tersebut.

“Pada bagian ini juga, kami memaparkan sejauh mana dampak pemberlakuan UU Omnibus Law tersebut terhadap masyarakat kecil,” katanya.

Languwuyo mengatakan, dengan kehadiran Buku Seri Memoria Passionis No. 39, ‘Damai Papua Yang Tercabik’ ini membantu semua kita (para pembaca) mencermati berbagai persoalan yang ada dan mencari solusi yang baik mengatasi persoalan tersebut.

“Mengingat penderitaan yang ada, bukannya menambah luka, melainkan bersama mencari jalan keluar terbaik dari penderitaan tersebut,“ katanya.

Sementara itu salah satu penulis Buku “Damai Papua Yang Tercabik”, Seri Memoria Passionis No.39 Benard Koten menjelaskan mengenai latar belakang terbitnya buku tersebut.

“Di tahun 2020, dunia ‘diserang’ virus Covid 19, termasuk di Tanah Papua. Kasus virus Covid 19 menjadi konsumsi setiap hari di Tanah Papua. Berbagai media (cetak, online) baik itu lokal, nasional maupun internasional menceritakan ganasnya virus ini,” katanya.

Selain menghadapi serangan Covid 19, orang/warga yang mendiami Tanah Papua, khususnya ‘tuan rumah’ (orang asli Papua) harus menghadapi pelbagai persoalan yang tak kunjung henti.

“Sebut saja, ketidakadilan hukum pasca demo tolak rasisme, persoalan Otonomi Khusus Papua, konflik bersenjata, pengekangan ruang ekspresi, pro kontra Omnibus Law dan lain sebagainya,” katanya.

Koten mengatakan, SKPKC Fransiskan Papua juga berada dalam lingkaran persoalan tersebut. Menghadapi persoalan tersebut, salah satu kewajiban SKPKC FP adalah merekamnya dan mempublikasikannya

“Merekam dan mempublikasi perjalanan di Tanah Papua selama setahun yang berjalan sudah menjadi kebiasaan dari SKPKC Fransiskan Papua sejak tahun 1999. Di tahun 2021 (baru terealisasi di tahun 2022) mencetak dan mempublikasikan buku Seri Memoria Passionis No.39,” katanya.

Buku ini ditulis oleh Bernard Koten, Yuliana Languwuyo dan Theo van den Broek.

Artikel ini telah tayang di Jubi.CO.ID -LINK Sumber- https://jubi.co.id/merekam-papua-dalam-buku-damai-papua-yang-tercabik/