Menuju Merauke Bebas DBD

Merauke merupakan kabupaten yang terletak di selatan provinsi Papua, beribukota di Merauke. Kabupaten Merauke memiliki luas wilayah sebesar 44.071 km2. Terdapat 20 kecamatan di kabupaten Merauke yaitu terdiri atas kecamatan Animha, Eligobel, Ilyawab, Jagebob, Kaptel, Kimaam, Kurik, Malind, Merauke, Muting, Naukenjerai, Ngguti, Okaba, Semangga, Sota, Tabonji, Tanah miring, Tubang, Ulilin dan Waan.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, pada tahun 2017 jumlah penduduk kabupaten merauke 223.389 jiwa. Menurut Bappeda kabupaten Merauke, keadaan topografi kabupaten umumnya datar dan berawa disepanjang pantai, memiliki kemiringan 0-3%.

Berdasarkan peta dasar kabupaten Merauke terlihat sebagian besar luas daerah merupakan area dataran yang berada pada ketinggian 0-60 m diatas permukaan laut. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kabupaten Merauke, curah hujan per tahun rata-rata mencapai 1.530,60 mm.

Ketinggian tempat yang berbeda di wilayah kabupaten Merauke berpengaruh terhadap faktor curah hujan. Wilayah Merauke bagian utara curah hujan pertahun 1000-2000 mm/tahun terdapat pada kecamatan Okaba dan Muting.

Curah hujan yang tinggi menjadikan wilayah kabupaten Merauke temasuk dalam daerah zona basah. Kabupaten Merauke berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah 5-6 bulan. Kondisi lingkungan yang tropis di kabupaten Merauke dapat menyebabkan sumber penyakit.

Salah satu sumber penyakit yang disebabkan oleh iklim yang tropis adalah DBD (Demam Berdarah Dengue). DBD merupakan penyakit yang di sebarkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang membawa virus dengue.

Penyakit DBD sama seperti malaria namun vektor penular virus yang berbeda. Virus dengue masuk ke aliran darah manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Jenis nyamuk tersebut biasanya menggigit di pagi hari sampai sore menjelang petang. Penularan virus dengue dapat terjadi apabila seseorang yang sudah terinfeksi digigit oleh nyamuk perantara.

Artinya virus dari orang yang terinfeksi akan dibawa oleh nyamuk kemudian menginfeksi orang lain yang digigit oleh nyamuk tersebut. DBD disebut juga sebagai penyakit “breakbone fever” (demam sendi), karena demam tersebut menyebabkan penderita mengalami nyeri yang hebat pada tulang. Gejala-gejala penyakit DBD yaitu demam, sakit kepala, kulit kemerahan seperti penyakit campak, nyeri otot dan persendian.

Menurut Profil Kesehatan Provinsi Papua tahun 2016 jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Merauke sebanyak 367 kasus. Tingginya penyakit DBD di kabupaten Merauke disebabkan oleh kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat.

Perubahan iklim seperti curah hujan yang tinggi dapat menjadi faktor tingginya kasus demam berdarah. Populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus dapat meningkat saat hujan terjadi. Hujan dalam jangka waktu lama akan menimbulkan genangan air di tempat-tempat penampungan air di sekitar rumah sehingga menjadi tempat berkembang biak nyamuk dari telur hingga nyamuk dewasa. Juga faktor perilaku masyarakat terhadap tingginya penyakit DBD di kabupaten Merauke, yaitu kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan untuk mengurangi populasi nyamuk.

Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menanggulangi atau mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus agar mengurangi penyebaran penyakit DBD. Diketahui pemerintahan kabupaten Merauke sudah melakukan upaya pengendalian vektor nyamuk guna untuk mengatasi permasalahan penyakit DBD pada masyarakat.

Pemerintah kabupaten Merauke khususnya Dinas Kesehatan mengatasi DBD dengan cara mengurangi populasi nyamuk agar penyebaran virus DBD tidak meluas. Upaya pengendalian vektor yang dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida atau “fogging” dan pemberian abate “temefos” kepada masyarakat. Kedua upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah kabupaten Merauke tergolong sebagai pengendalian vektor secara kimia.

Namun pengendalian vektor menggunakan bahan kimia kurang efektif untuk mengurangi populasi nyamuk, karena jika penggunaan bahan kimia “insektisida” dalam jangka waktu yang lama dapat menyebkan resistensi terhadap nyamuk.

Hal ini diketahui dari teori Sukowati, bahwa penggunaan insektisida dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan resistensi vektor sehingga harus digunakan dengan bijak. Selain itu penggunaan fogging dapat menyebabkan polusi udara dan bersifat racun bagi manusia dan hewan ternak. Juga resistensi dapat terjadi pada pemberian abate “temefos” kepada larva/jentik nyamuk. Hal tersebut dibuktikan penelitian Bisset dkk di Negara Cuba yang menyatakan bahwa larva Aedes aegypti resisten terhadap pemberian temefos.

Oleh karena itu selain upaya pemerintah diperlukan juga upaya masyarakat di kabupaten Merauke untuk menjaga kebersihan lingkungan dengan melakukan 3M yaitu menguras, menutup, dan mengubur. Juga perlu dilakukannya pengendalian vektor secara biologi yaitu dengan cara memelihara ikan Mas, Cupang, Guppy sebagai predator alami bagi larva/jentik nyamuk.

 

Penulis adalah :

Jonly Luturmas

Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Program Studi: Biologi Fakultas : Bioteknologi

Sumber :  https://www.papuapos.com/opini/