Hentikan Stigma Rasis, Perjuangan Demi Keadilan dan Penegakan Hukum, HAM Bagi Semua Orang di Indonesia

Putusan Sidang terhadap tujuh (7) Tahanan Politik Papua tanggal 17 Juni 2020 yang dipindahkan dari Jayapura dan disidangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan Kalimatan Timur, telah inkrah :

  1. Bucthar Tabuni dituntut Jaksa 17 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan.
  2. Irwanus Uropmabin dituntut Jaksa 5 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan.
  3. Ferry Kombo dituntut Jaksa 10 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan.
  4. Agus Kosay dituntut Jaksa 15 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan.
  5. Hengky Hilapok dituntut Jaksa 5 tahun  penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan.
  6. Alexander Gobay dituntut Jaksa 10 Tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan.
  7. Steven Itlay dituntut Jaksa 15 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan.

karena baik Jaksa Penuntut Umum, maupun para Terdakwa  serta Penasehat Hukum, tidak mengajukan / menyatakan banding setelah 7 hari batas waktu untuk mengajukan /menyatakan banding. Setelah putusan

Walaupun demikian tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim terhadap kasus ini, telah selesai dan  masih terlihat dengan jelas adanya ketidak-adilan hukum dalam putusan tersebut, jika dicermati dengan baik dan dikaitkan dengan fakta persidangan serta  barang bukti, pandangan dan pendapat para saksi Ahli serta saksi yang meringankan dari para terdakwa,  selama persidangan berlangsung, sekalipun demikian Putusan Hakim tersebut patut dihormati.

Karena itu selaku Direktur Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, saya mengajak semua pihak terutama Aktivis dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) serta semua Orang yang peduli dan prihatin terhadap penegakan HAM di Indonesia dan di Papua, jangan cepat puas dengan hasil kerja dan Putusan yang sudah dicapai, karena tugas dan perjuangan kita masih sangat panjang dan berat.

Perjuangan bersama untuk melawan ketidak-adilan dan penegakan hukum dari kewenangan/kuasa dan kekuatan politik di Indonesia yang acap kali turut merendahkan hukum dan keadilan, dimana “ Hukum di Indonesia kebanyakan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas “ artinya bahwa bagi elit dan penguasa, hukum dapat dihindarkan dari mereka sedangkan rakyat kecil atau rakyat jelata hukum sangat tajam menusuk mereka.

Saya mengajak marilah kita  membangun kekuatan dan pandangan serta kesadaran bersama untuk memerangi bentuk-bentuk ketidak-adilan dan kekuasaan hukum yang sewenang-wenang sekaligus   memastikan bahwa :

  1. Pemerintah Republik Indonesia tidak lagi menggunakan stigma yang mengandung unsur Rasis untuk merendahkan martabat manusia.
  2. Hukum di Indonesia tidak boeh diintervensi oleh kekuatan hukum dan politik apapun.
  3. Makar” yang termuat dalam Pasal 106, 107… KUHP, yang selama ini dipergunakan oleh Aparat Keamanan dalam hal ini Kepolisian RI untuk menjerat pribadi atau kelompok, golongan masyarakat yang menyuarakan tentang kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia atau mengkritik dan memprotes kebijakan Pemerintah yang tidak tepat atau keliru dalam pembangunan masyarakat, dalam mengeksprsikan hak politik agar segera dihapukan.
  4. UU RI NO.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Bab II, Pasal  2 ayat 2, Tentang Lambang Daerah sebagai Panji Kebesaran dan Simbol Kultural bagi kemegahan jati diri Orang Papua, dalam bentuk bendera daerah (Bintang Kejora) dan lagu daerah (Hai Tanah ku Papua) yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Yang kemudian dilarang penggunaannya oleh Pemerintah RI, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007,  agar diberlakukan kembali secara mutlak, karena lambang-lambang tersebut telah dipakai lama sejak integrasi oleh oknum atau kelompok dan juga pihak pemerintah dan penguasa untuk mengintimidasi, melakukan kekerasan bahkan sampai dengan penghilangan nyawa manusia di Papua.
  5. Undang-Undang No. 27 tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga termuat dalam UU No. 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Bab XII Tentang Hak Asasi Manusia 45 ayat 2 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)agar segera diberlakukan.
  6. Tidak adanya upaya-upaya pihak tertentu untuk menggerakan dan atau memobilisasi para Milisi yang berbasis pada  paguyuban-paguyuban yang mengatas namakan paguyuban Nusantara  di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dapat mengancam kebersamaan hidup di Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk akan mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa, karena dapat berakibat terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat sipil  (pengalaman pada demonstrasi-demonstrasi yang lalu) terutama demo anti rasis yang kemudian diikuti demo tandingan oleh para milisi ( Barisan Merah Putih dan kelompok Nusantara tgl 29/30 Agustus 2019), di kota J

Demikian Media Release ini kami buat demi penegakan Hukum dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.

 

                                                                                                                 Jayapura, 28 Juni 2020.

 

Pdt.Matheus adadikam.STh.

                  Direktur