Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi manusia (ELSHAM) Papua, Pdt.Matheus Adadikam mengatakan, Putusan Sidang terhadap tujuh Tahanan Politik Papua tanggal 17 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Balikpapan Kalimatan Timur, telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Sebab Jaksa Penuntut Umum, para Terdakwa serta Penasehat Hukum, tidak mengajukan atau menyatakan banding setelah 7 hari batas waktu.
“Setelah putusan terhadap tujuh (7) Tahanan Politik Papua Bucthar Tabuni dituntut Jaksa 17 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan, Irwanus Uropmabin dituntut Jaksa 5 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan, Ferry Kombo dituntut Jaksa 10 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan, Agus Kosay dituntut Jaksa 15 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan, Hengky Hilapok dituntut Jaksa 5 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan, Alexander Gobay dituntut Jaksa 10 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 10 bulan, Steven Itlay dituntut Jaksa 15 tahun penjara, dijatuhi Vonis Hakim pidana penjara 11 bulan,” kata Penasehat Hukum Terdakwa Adadikam, Senin (29/6/2020).
Kendati demikian, menurutnya masih terlihat dengan jelas adanya ketidak-adilan hukum dalam putusan tersebut.
“Ini jika dicermati dengan baik dan dikaitkan dengan fakta persidangan serta barang bukti, pandangan dan pendapat para saksi ahli serta saksi yang meringankan dari para terdakwa, selama persidangan berlangsung. Sekali pun demikian Putusan Hakim tersebut patut dihormati,”katanya.
Adadikam mengajak semua pihak, terutama aktivis dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) serta semua orang yang peduli dan prihatin terhadap penegakan HAM di Indonesia dan di Papua, jangan cepat puas dengan hasil kerja dan Putusan yang sudah dicapai, karena tugas dan perjuangan masih sangat panjang dan berat.
“Perjuangan bersama untuk melawan ketidak-adilan dan penegakan hukum dari kewenangan/kuasa dan kekuatan politik di Indonesia yang acap kali turut merendahkan hukum dan keadilan. Hukum di Indonesia kebanyakan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, bagi elit dan penguasa, hukum dapat dihindarkan dari mereka sedangkan rakyat kecil atau rakyat jelata hukum sangat tajam menusuk mereka,” katanya.
Adadikam mengajak agar kepada semua komponen agar membangun kekuatan dan pandangan serta kesadaran bersama untuk memerangi bentuk-bentuk ketidak-adilan dan kekuasaan hukum yang sewenang-wenang sekaligus memastikan bahwa,Pemerintah Republik Indonesia tidak lagi menggunakan stigma yang mengandung unsur Rasis untuk merendahkan martabat manusia. Hukum di Indonesia tidak boeh diintervensi oleh kekuatan hukum dan politik apapun.
Dia meminta pasal makar dalam KUHP harus segera dihapuskan. Pasal itu kerap ini digunakan oleh aparat, untuk menjerat pribadi atau kelompok, golongan masyarakat yang menyuarakan tentang kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia atau mengkritik dan memprotes kebijakan pemerintah yang tidak tepat atau keliru.
Adadikam mengatakan,UU RI NO.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Bab II, Pasal 2 ayat 2, Tentang Lambang Daerah sebagai Panji Kebesaran dan Simbol Kultural bagi kemegahan jati diri Orang Papua, dalam bentuk bendera daerah (Bintang Kejora) dan lagu daerah (Hai Tanah ku Papua) yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
“Yang kemudian dilarang penggunaannya oleh Pemerintah RI, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007, agar diberlakukan kembali secara mutlak, karena lambang-lambang tersebut telah dipakai lama sejak integrasi oleh oknum atau kelompok dan juga pihak pemerintah dan penguasa untuk mengintimidasi, melakukan kekerasan bahkan sampai dengan penghilangan nyawa manusia di Papua,”katanya.
Adadikam mengatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga termuat dalam UU No. 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Bab XII Tentang Hak Asasi Manusia Pasal. 45 ayat 2 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), agar segera diberlakukan.
“Tidak adanya upaya-upaya pihak tertentu untuk menggerakan dan atau memobilisasi para milisi yang berbasis pada paguyuban-paguyuban yang mengatas namakan paguyuban Nusantara di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dapat mengancam kebersamaan hidup di Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk akan mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa, karena dapat berakibat terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat sipil (pengalaman pada demonstrasi-demonstrasi yang lalu) terutama demo anti rasis yang kemudian diikuti demo tandingan oleh para milisi ( Barisan Merah Putih dan kelompok Nusantara tgl 29/30 Agustus 2019), di kota Jayapura,” katanya.
Anggota Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua, Gustaf Kawer selaku penasehat hukum tujuh tahanan politik Papua menilai majelis hakim yang mengadili tujuh kliennya telah bersikap netral sehingga memutus hukuman yang jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Kawer menyatakan semangat dukungan berbagai pihak bagi tujuh tahanan politik Papua, terbukti membawa perubahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah Papua, termasuk berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
“Kami menyampaikan terima kasih, sebab hakim netral sehingga putusan itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Seandainya hakim tidak netral, saya yakin putusannya tidak akan berubah dari yang dituntut jaksa,” katanya. (*)
Sumber : jubi.co.id