Pemekaran Daerah dan Komoditas Politik

Pengantar Jumlah kabupaten dan provinsi di Indonesia terus bertambah. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan pemekaran daerah. Wartawan SP Alex Madji menuliskan laporan di seputar pemekaran daerah. Jumlah daerah pemekaran sejak 1999 sampai 2007 mencapai 173 daerah. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum lama ini menyepakati lagi usulan 21 daerah pemekaran baru. Tetapi usulan inisiatif DPR itu mendapat reaksi sejumlah wilayah, seperti Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Ada bermacam-macam alasan mereka menolak pemekaran wilayahnya. Tetapi tulisan ini bukan untuk mengemukakan alasan penolakan mereka, tetapi hanya mau menegaskan bahwa sebaiknya pemekaran dihentikan untuk sementara waktu (moratorium) hingga berakhirnya Pemilu 2009.

Perlu dikemukakan terlebih dahulu di sini bahwa pemekaran wilayah adalah amanat Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak ada larangan dalam UU tersebut untuk memekarkan wilayah. Namun, harus diingat bahwa ada pasal dalam UU itu yang mengatur bahwa sebuah daerah otonom dapat dihapus dan digabungkan dengan daerah otonom yang lain bila daerah otonom itu gagal mencapai tujuannya. Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, Pasal 22 dan 23 mengatur hal itu lebih terperinci. Pasal 22 Ayat (1) menegaskan, daerah otonom dapat dihapus apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Ayat (2), Penghapusan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3), daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan daerah lain yang bersandingan berdasarkan hasil kajian. Sedangkan pada Pasal 23 Ayat (1) dikatakan, berdasarkan proses evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (2), Menteri menyampaikan hasil evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Ayat (2), DPOD bersidang untuk membahas hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3), dalam hal sidang DPOD menilai daerah tertentu tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, DPOD merekomendasikan agar daerah tersebut dihapus dan digabungkan ke daerah lain. Ayat (4), Menteri meneruskan rekomendasi DPOD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden. Ayat (5), Apabila Presiden menyetujui usulan penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang penghapusan dan penggabungan daerah. Tetapi persoalannya adalah bahwa pemekaran sekarang sama sekali tidak terbendung. Bahkan bisa dikatakan pemekaran ini sudah kebablasan karena ternyata ada pemekaran yang tidak menyejahterakan rakyat. Lebih parah lagi, usulan pemekaran itu dilakukan satu tahun menjelang Pemilu 2009. Komoditas Politik Motivasi sejumlah anggota DPR mengusulkan pemekaran daerah menjelang Pemilu 2009 mengundang kecurigaan banyak pihak. Ada yang menilai, usulan pemekaran yang berapi-api itu tidak lain hanya untuk kepentingan politik 2009. Bahkan ada lagi yang berpendapat, DPR begitu semangat mengusung usulan pemekaran daerah karena mereka membutuhkan banyak uang untuk kampanye, baik partai politik maupun kampanye mereka sendiri. Pemekaran hanya menjadi proyek dan sumber dana politik. Meskipun ada informasi, dana pemekaran itu bukan hanya disebar ke DPR, tetapi juga di Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Seorang sumber yang mengupayakan pemekaran sebuah daerah mengaku menyiapkan dana Rp 15 miliar untuk pemekaran daerahnya. Dana itu dipakai untuk meloloskan usulan pemekaran, baik di DPR maupun Depdagri. Tetapi Juru Bicara Depdagri Saut Situmorang membantahnya. Secara institusional, Depdagri sama sekali tidak memungut biaya dalam usulan pemekaran wilayah, apalagi mematok biaya khsusus. Bila ada pejabat Depdagri yang melakukan pungutan seperti, dia meminta tidak segan-segan menyampaikannya ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri). “Kalau ada datanya silakan kasih ke saya. Saya sangat yakin Mendagri akan memberi sanksi tegas kepada pejabat seperti itu,” tegas Saut beberapa waktu lalu. Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini menjabat sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum secara terpisah menganjurkan, pemekaran jangan dijadikan komoditas politik karena risikonya sangat besar menjelang Pemilu 2009. DPR harus cermat menghitung dampak politis, sosial budaya, dan teknis pemilu dari usulan pemekaran tersebut. Usulan pemekaran menjelang pemilu seperti ini, berdasarkan pengalamannya sebagai anggota KPU, menyulitkan kerja KPU. Sebab usulan pemekaran akan diikuti dengan pendaftaran pemilih di daerah baru itu, padahal saat ini proses update data penduduk dan pemilih sedang dilakukan Depdagri dan April mendatang rencananya disampaikan Depdagri ke KPU. Pemekaran itu juga akan diikuti pembentukan daerah pemilihan baru, pembentukan KPU provinsi dan kabupaten/kota baru dengan jajarannya hingga tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Pekerjaan itu tidak mudah dan akan menelan biaya negara yang tidak sedikit. Ini pun bertentangan dengan prinsip penghematan dalam menyelenggarakan Pemilu 2009. Menurut Anas, KPU jangan diberi beban tambahan dalam mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009. Melihat beban seperti itu, dia mengusulkan supaya pemekaran itu ditunda hingga selesai Pemilu 2009. Evaluasi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasasmita setelah rapat konsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Jumat (25/1) di Istana Negara juga mengusulkan kepada Presiden supaya pemekaran wilayah dijeda untuk sementara waktu sambil melakukan evaluasi menyeluruh terhadap daerah pemekaran yang ada saat ini. Alasannya, berdasarkan temuan anggota DPD di lapangan, pemekaran itu tidak mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu menyejahterakan masyarakat di wilayah tersebut. Pemerintah juga diminta menyusun rancangan dasar pemekaran di Indonesia untuk waktu-waktu mendatang. “Bukan berarti menghentikan pemekaran, karena tidak benar. Thailand dan Filipina yang penduduknya jauh di bawah kita, jumlah provinsinya 2-3 kali lipat dari Indonesia. Jadi, kemungkinan untuk memekarkan itu ada hanya atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang mendalam. Dan, menjamin bahwa pemekaran daerah itu akan memastikan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Ada potensi meningkatkan kesejahteraan rakyat,” papar Ginandjar ketika itu. Sementara Presiden Yudhoyono menegaskan, pemekaran harus dikembalikan ke tujuannya, yaitu bahwa dengan pemekaran itu masyarakat berkembang lebih baik, pemerintahan berjalan lebih efektif, rentang kendali menjadi lebih baik, sumber daya yang dikendalikan dikembangkan lebih baik, infrastruktur bisa dibangun lagi untuk membawa kebaikan, kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat setempat. “Kalau setelah dimekarkan, perkembangannya justru sebaliknya berarti keliru pemekaran yang ditempuh,” tegas Presiden. Karena itu sudah saatnya pemekaran itu dievaluasi secara menyeluruh baik prosesnya maupun pemekaran itu sendiri untuk mengetahui mana yang benar dilakukan dan mana yang menyimpang dan tidak membawa kebaikan bagi masyarakat di daerah pemekaran. “Kita perlu memilki grand design, suatu master plan seperti apa. Pikiran besar kita seperti apa menyangkut sistem pemerintahan di negeri ini, sistem pemerintahan yang tetap bertumpu pada negara kesatuan, sistem kesatuan tetapi mengedepankan otonomi daerah sehingga dari luasnya wilayah Indonesia, dari besarnya penduduk, dari kekuatan ekonomi dan infrastruktur yang kita miliki dan lain-lain maka jumlah provinsi yang ideal misalnya di Kalimantan berapa, di Sumatera berapa. Demikian juga berapa jumlah kabupaten yang ideal di Papua, kemudian kondisi geografis yang khas, persoalan-persoalan di daerah-daerah itu. Ini penting agar kita tidak hanya melihat mekanisme, tidak hanya melihat hak, tidak hanya melihat ketentuan undang-undang, tiba-tiba suatu saat sekian tahun kemudian ternyata tidak pas dengan jumlah yang kita design,” papar Presiden bersemangat. Akan tetapi, kapan evaluasi dan grand design itu dilakukan? Pihak Depdagri jauh sebelumnya sering kali mengucapkan kalimat serupa. Evaluasi daerah otonom dan membuat grand design pemekaran adalah dua kata yang tiap kali diucapkan Kausar Ali Saleh saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri. Tetapi sampai saat ini belum ada hasil evaluasi yang dijanjikan itu. Sekarang PP 78/2007 sudah diterbitkan. Maka tidak ada alasan lagi menunda evaluasi terhadap daerah otonom di seluruh Indonesia. Dalam masa evaluasi tersebut, terutama menjelang Pemilu 2009 ini, proses pemekaran daerah sebaiknya dihentikan sementara. Usulan DPR untuk memekarkan 21 daerah baru seyogyanya ditunda hingga ada hasil evaluasi dan grand design yang dijanjikan pemerintah. Begitu pun terhadap 12 daerah yang amanat presiden (ampres)-nya untuk dibahas bersama DPR sudah diterbitkan 10 Desember 2007 silam. Pemerintah dan DPR sebaiknya konsentrasi saja pada penyelesaian paket undang-undang politik yang ditunggu-tunggu banyak orang saat ini. Tidak perlu mencari-cari pekerjaan. Untuk tertibnya pemekaran wilayah itu ke depan, maka usulan pemekaran melalui satu pintu saja, yakni cukup dilakukan pemerintah. Usulan pemekaran melalui DPR terlalu sarat dengan kepentingan politis. Tidak murni untuk kesejahteraan masyarakat. u Last modified: 17/2/08

Source: Suara Pembaruan