Covid-19 menjadi pandemi global. Wabah ini mengubah banyak sekali struktur kehidupan. Orang-orang dihimbau untuk tetap di rumah sebagai salah satu protokol kesehatan. Termasuk pelaksanaan proses pendidikan anak pun dari rumah.
Proses pendidikan dari rumah atau dikenal sebagai school from home (pembelajaran jarak jauh / PJJ) butuh beragam pendukung dalam pelaksanaannya, seperti ketersediaan sinyal, kuota, gawai, aplikasi, dan literasi digital baik dari si anak maupun orangtua yang mendampinginya.
PJJ tidak relevan bagi anak-anak Papua, terutama anak-anak di pedalaman. Sebut saja satu Kabupaten di pesisir selatan Papua, Kabupaten Asmat. Asmat adalah satu Kabupaten yang masing-masing distriknya dipisahkan oleh sungai dan laut. Dari segi mobilitas, Kabupaten Asmat sangat sulit dicapai.
Syarat-syarat yang dibutuhkan dalam PJJ tidak relevan dan mustahil dipenuhi di distrik-distrik pedalaman Asmat. Agats, ibu kota kabupaten, titik paling maju di Kabupaten Asmat baru beberapa tahun ini mendapat fasilitas listrik 24 jam, kalau pasukan solar sedang terganggu karena kapal terganggu ombak laut, Agats bisa padam berhari-hari.
Tetangga distriknya seperti Atsj, listrik hanya menyala 12 jam dalam satu hari. Kampung dan distrik lainnya yang lebih pedalaman, tidak ada listrik sama sekali. Itu baru soal listrik.
Sinyal internet mengambil peran utama dalam PJJ untuk bisa melakukan koneksi ke aplikasi belajar seperti Zoom, Google Meet, Google Classromm. Dan sinyal di Asmat, sudah jelas tidak akan kuat untuk mengakses aplikasi-aplikasi itu.
Provider yang mampu ‘hidup’ di sana hanya Telkomsel, tapi sinyalnya pun sangat parah. Untuk berkirim pesan teks saja perlu 2 hari untuk terkirim. Internet yang ‘lumayan’ bisa didapat dengan membeli voucher wifi yang disediakan kios-kios seharga 50 ribu per dua jam dengan kuota tidak sampai 20mb.