Sambut Paus Fransiskus, Ratusan Umat Jalan Salib di Kota Jayapura, sempat dihadang polisi

Ratusan umat mengikuti Doa Jalan Salib untuk menyambut Paus Fransiskan pada Rabu (4/9/2024). – dok/Elsham Papua Monitor

Elsham Papua Monitor – Ratusan masyarakat atau umat kristiani di Kabupaten dan Kota Jayapura, mengikuti doa jalan salib pada Rabu (4/9/2024), dengan berjalan kaki dari Expo Waena menuju Lapangan Trikora Abepura.

Doa jalan salib, yang difasilitasi Pastor-pastor Pribumi dan Dewan Gereja Papua, dilakukan sebagai penyambutan Paus Fransiskan di Indonesia, dengan mengusung tema: Salib Mengangkat Penderitaan Orang Papua.

Sejak pagi, umat kristiani mulai berkumpul di lapangan kompleks anjungan Expo. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan ungu sebagai lambang perkabungan penderitaan orang Papua. Sebagian lagi mengenakan kostum tradisional dan jas almamater dari masing-masing kampus.

Sebanyak delapan Sekolah Tinggi Teologi terlibat di dalamnya, antara lain: Sekolah Tinggi Teologi Walter Pos Jayapura (STT WPJ), STT Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), Sekolah Tingkat Atas Kristen Injili Di Indonesia (Stakin), dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Prostetan Negeri (STAKPN).

Dihadang

Para Koordinator Doa Jalan Salib, yakni Pastor John Bunay, Pdt. Dorman Wandikbo, dan Pdt. John Baransano ketika bernegoasiasi dengan Kombes Victor Makbon di lapangan Anjungan Expo, Distrik Heram, Kota Jayapura, Rabu (4/9/2024). – dok/ Elsham Papua Monitoring

Pagi itu sebelum jam 8, selain umat yang mulai berdatangan berkumpul di lapangan dalam anjungan Expo, anggota polisi, anggota Brimob, dan Provos Polisi tampak sudah lebih dulu datang. Kendaraan taktis juga sudah terparkir depan Gerbang Anjungan Expo dan sepanjang pinggir Jl Raya Sentani-Abepura. Di antaranya terdapat mobil barracuda (1), mobil anti hura hara (2), dan truck polisi (2).

Sekitar pukul 9, beberapa petinggi polisi dan anggotanya, termasuk yang tidak berseragam, tampak sudah berada di dalam lapangan Anjungan Expo. Umat kristiani dilarang keluar dari lapangan tersebut.

Tiga pimpinan gereja sebagai koordinator Doa Jalan Salib, yakni Pastor John Bunay, Pdt. Dorman Wandikbo dan Pdt. John Baransano kemudian bernegosiasi dengan Kapolres Jayapura Kota, Kombes Victor Mackbon.

Negosiasi berlangsung sekitar satu jam, kemudian umat “diizinkan” berjalan dan melakukan doa jalan salib.

Pascanegosiasi tersebut, terdapat sejumlah perubahan acara. Sebelumnya, Pastor-pastor Pribumi dan Dewan Gereja Papua mengumumkan:

  • Doa jalan salib dimulai pukul 10 pagi dari lapangan anjungan Expo, Distrik Heram menuju ke Lingkaran Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura;
  • Selama perjalanan, dilakukan beberapa kali pemberhentian untuk berdoa;
  • Puncak pemberhentian atau pemberhentian ke-14, dilakukan di Lingkaran Abepura;
  • Doa jalan salib diakhiri dengan doa kerahiman pada pukul 15.00 WIT.

Namun, beberapa yang direncanakan berubah. Seperti tempat pemberhentian terakhir yang diubah di Lapangan Trikora Abepura, doa ratapan dari sejumlah pihak yang sudah disiapkan  ditiadakan, dan prosesi doa jalan salib diakhir sekitar pukul 13.00 WIT, lebih cepat dari jadwal awal.

Testimoni

Pastor John Bunay, dalam sambutannya mengatakan, “Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dengan visi perdamaian, maka kami juga menyambung suara Paus bahwa perdamaian itu [juga] harus terjadi di [tanah] Papua,” katanya.

Kemudian Pdt. Dorman Wandikbo mengatakan bahwa orang Papua harus membayar utang penderitaan Yesus di atas kayu salib melalui penyelamatan umat dan perdamaian di atas tanah Papua.

Sementara itu, visi perdamaian yang disuarakan, agaknya tidak diterima oleh semua orang.

Victor, salah satu umat dari Kota Jayapura, mengatakan doa jalan salib terkesan dilakukan dengan terburu-buru.

Ia mengaku tidak menerima “syalom atau damai” setelah mengikuti prosesi doa jalan salib itu. Pasalnya, prosesi ibadah yang harusnya berjalan khidmat, sudah “dirusak” dengan kehadiran aparat polisi dengan kekuatan penuh.

“Bagaimana mau damai, syalom yang harusnya kita terima justeru rusak kemarin. Saya dan teman-teman di Perumnas 3 dihadang polisi, padahal kami mau bergabung dengan umat di Expo untuk berdoa, jalan salib. Ya, meskipun kemudian diizinkan, ya, mungkin karena pemimpin gereja sudah bicara dengan polisi, tapi saya heran karena hanya untuk berdoa saja, polisi turunkan kekuatan penuh seperti orang mau demo anarkis saja,” kata Victor kepada Elsham Papua Monitor, Rabu (4/9/2024).

Diskriminatif

Pihak polisi mengawal jalannya Doa Jalan Salib dari Expo menuju Lapangan Trikora Abepura, Rabu (4/9/2024). – dok/Elsham Papua Monitor

Berangkat dari situasi di atas, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, Pdt. Mathius Adadikam mengatakan pembatasan terhadap ruang ekspresi atau hak berkumpul secara damai di muka publik, khususnya di Papua, masih menjadi masalah dan pekerjaan rumah besar bagi aparat keamanan.

Sebenarnya, hak-hak masyarakat atau umat yang berkumpul untuk melakukan doa jalan salib itu dijamin hak konsitutsionalnya. Seperti Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul juga diatur dalam UU HAM, Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Ataupun Pasal 20 Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang berbunyi, Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai.

“Sebenarnya kalau berangkat dari dasar hukum, banyak aturan yang menjamin warga berkumpul menyampaikan pikirannya, apalagi doa jalan salib, ini kegiatan rohani yang dipimpin langsung pemimpin umat. Itu bentuk ekspresi umat yang senang sambut Paus Fransiskan, meski bukan ke Papua, hanya di Jakarta, tetapi ini ekspresi mereka yang dilakukan lewat doa, membawa ratapan mereka,” kata Pdt. Matheus Adadikam, Kamis (5/9/2024).

“Jadi, kadang kami melihat ada perlakuan berbeda. Kalau itu orang asli Papua yang kumpul, penanganannya berbeda, seperti diskriminasi. Karena ketika kumpul-kumpul dilakukan warga kota Jayapura tetapi, maaf, bukan orang asli Papua, kegiatan jalan lancar, tidak ada masalah. Kami, Elsham, meminta aparat polisi mengevaluasi diri dan belajar menghormati aturan yang menjamin hak konstitusi setiap warga negara,” kata Pdt. Matheus Adadikam. (*)