ELSHAM Papua kutuk pencatutan nama tokoh gereja Papua pada spanduk “tak bertuan”

Elsham Papua Monitor – Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua mengutuk tindakan tidak bertanggung jawab para pihak yang mencatut nama-nama dan foto para pemimpin gereja di tanah Papua, yang disebarkan melalui beberapa spanduk dan dipasang di tempat-tempat publik di Kota dan Kabupaten Jayapura pada 16 Agustus 2024 lalu.

Pada spanduk setiap pemimpin gereja di Tanah Papua, berwarna merah dan putih, memuat masing-masing foto tokoh gereja dengan ucapan-ucapan. Seperti spanduk berisi foto Pdt. DR. Benny Giay yang dipasang di persimpangan jalan antara arah Gunung Merah dan Jalan ke Kemtuk Gresi. Pada spanduk itu tertulis pesan, “Bersatu kita kuat, bersama kita hebat,” dan pada sisi lain tertulis, “HUT 79 Republik Indonesia.”

Kemudian, spanduk putih berisi foto Pastor John Bunay yang dipasang pada tembok pagar komplek biara Fransiskan Sentani, tertulis pesan, “Dirgahayu Republik Indonesia, Semangat Perjuangan Mewujudkan Indonesia Maju, 17 Agustus 2024.”

Selanjutnya spanduk putih berisi foto Pdt. Dorman Wandikbo yang dipasang di depan Pusat Belanja Borobudur Sentani, bertuliskan, “Dirgahayu Republik Indonesia, 17 Agustus 1945-17 Agustus 2024.”

Dan, spanduk berisi foto Pdt. Andrikus Mofu, yang dipasang di depan kantor Badan Sinode GKI.

Melalui Surat Terbuka Dewan Gereja Papua No. 05/ST/DGP/viii/24 tentang Pemasangan foto dan Baleho Pimpinan Gereja di Tanah Papua [16 Agustus 2024] Sebagai Tantangan Panggilan Membangun Kembali Wacana Dialog & Papua Tanah Damai, para tokoh gereja ini menjelaskan, pihaknya tidak pernah mengeluarkan spanduk-spanduk tersebut.

Melalui Surat Terbuka itu, Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt. DR. Benny Giay mengatakan, para tokoh gereja “disibukkan” pada Jumat (16/8/2024) pagi atas laporan berdirinya spanduk-spanduk tersebut.

“Setelah dicek, foto-foto tersebut dipasang tanpa permisi. Sama-sama menggelisahkan bagi Pimpinan Gereja tersebut apabila balihonya dipasang pihak sebelah [tertentu] di titik yang sama pada tanggal-tanggal sesuai politiknya tanpa permisi,” kata Pdt. DR. Benny Giay melalui Surat Terbuka yang diterima Elsham, Selasa (20/8/2024).

“Pihak sebelah” yang dimaksud Dewan Gereja Papua dalam surat terbukanya adalah pihak yang menentang setiap gerakan kritis rakyat Papua maupun lembaga dan organisasi kepada pemerintah Indonesia.

“Kejadian ini bisa dilihat sebagai bagian dari skenario untuk mengalihkan perhatian dan atau memicu konflik antara Pimpinan Gereja tersebut dan pihak umat/KNPB/OAP yang sedang alami kekerasan dalam pembatasan kebebasan pengungkapan pendapat; khususnya KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang dipasung sejak minggu (pekan) pertama Agustus 2024,” kata Pdt. DR. Benny Giay.

Sebagai konteks, sehari sebelumnya yaitu 15 Agustus 2024, rakyat Papua di berbagai daerah, memperingati Hari Perjanjian New York (New York Agreement) 1962. Tanggal ini diperingati setiap tahun sebagai titik balik sejarah penentuan nasib orang Papua saat ini. Perjanjian ini berisi penyerahan tanah Papua dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada Indonesia. Sementara orang asli Papua, sebagai pemilik hak ulayat, sama sekali tidak dilibatkan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan-keputusan.

Kemudian, tanggal 16 Agustus, diperingati sebagai hari anti rasisme, berangkat dari peristiwa tahun 2019 di tanah Papua dan sejumlah kota di Indonesia, dimana orang asli Papua mendapat ujaran dan perlakuan diskriminatif dan rasis dari penduduk Indonesia.

Terkait tanggal-tanggal penting bagi orang asli Papua tersebut, Dewan Gereja Papua, yang beranggotakan lima denominasi gereja, berbasis orang asli Papua terbesar di tanah Papua ini, menjadi salah satu badan yang kerap mengkritik lemahnya perlindungan negara kepada orang Papua sebagai warga negaranya.

Dari insiden baliho, Pdt. DR. Benny Giay, mengatakan, tindakan tersebut sebagai bentuk adu domba antara umat dengan para pimpinan gereja.

“Insiden baliho ini dinaikkan dalam suasana orang Papua ‘sedang di jalan buntu dan tidak ada terang ke depan,’ menurut refleksi seorang petugas Gereja,” kata Pdt. Benny Giay.

Setidaknya sejak tahun 2018/2019, Pdt. DR. Benny Giay menjelaskan, negara menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganan Papua dan itu menghancurkan orang asli Papua melalui lima bidang, yaitu penguasaan disertai kekerasan dalam bidang keamanan; hukum dan yuridis; kelembagaan dan demokrasi; kemudian kependudukan; serta komunikasi dan informasi.

“Singkatnya negara ini sudah kuasai kendali Tanah Papua dan masyarakat sipil ‘tanpa permisi’. Terakhir ini, kemarin ada pihak yang tanpa permisi gunakan foto pimpinan gereja pasang baliho menyampaikan selamat HUT NKRI 79. Sebelumnya, para pihak ini sudah memperpanjang UU Otsus Jilid II pada Juli 2021 dan pemekaran provinsi di Tanah Papua ‘tanpa pemisi’,” kata Pdt. DR. Benny Giay.

Atas insiden baliho tersebut, Direktur Elsham Papua, Pdt. Mathius Adadikam mengatakan, dari satu sisi, pencatutan nama yang dilakukan oleh orang tak bertanggung jawab ini sebagai bentuk pencemaran nama baik para pimpinan gereja-gereja di tanah Papua.

“Meskipun narasinya adalah berupa ucapan HUT kepada negara Indonesia pada 17 Agustus kemarin, namun tetap tidak bisa diterima karena bapa-bapa pendeta ini merasa tidak pernah membuat itu, atau diminta izin menggunakan identitasnya seperti foto dan nama lalu ucapkan apapun kalimatnya itu. Ini kan bisa dibilang sebagai bentuk pencurian identitas atau identity theft,” kata Pdt. Mathius Adadikam, Rabu (21/8/2024).

Meski demikian, Pdt. Mathius Adadikam berharap, dalam suasana hari Ulang Tahun Negara Indonesia ke-79 tahun 2024, dapat menjadi refleksi bagi seluruh warga terutama para pengambil kebijakan di semua level.

“Kami berharap, dengan usia 79 tahun ini, usia yang sudah sangat matang dari sisi manusia, ada harapan agar semua pihak terutama para penegak hukum dapat bekerja professional ungkap pelaku-pelaku yang suka merugikan orang lain, seperti yang menimpa pada tokoh-tokoh gereja ini,” kata Pdt. Mathius Adadikam.

Pendeta Adadikam juga berharap adanya pendekatan yang lebih humanis terhadap penyelesaian persoalan di tanah Papua.

“Kami juga berharap di usianya yang dewasa ini, ada evaluasi yang dilakukan pengambil kebijakan di tingkat pusat khususnya dalam pendekatan penyelesaian persoalan di tanah Papua. Hentikan pendekatan militer, orang Papua butuh pendekatan yang lebih humanis, berikan ruang bagi orang Papua untuk menyampaikan pendapat mereka tanpa diintimidasi,” harap Pdt. Adadikam. (*)