Jika keamanan dan kedamaian menjadi kerinduan kolektif di Papua, pemerintah dapat melakukan pendekatan persuasif yang lebih intens kepada para pemangku kepentingan di sana. Selama ini, komunikasi dirasa kurang efektif.Kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Nduga, Papua, belakangan terkesan membuat semua pihak perlu bekerja ekstra keras. Kelompok ini disinyalir masih hidup di Nduga dan sejumlah wilayah lainnya di tanah Papua.
Mereka dituding melakukan kekerasan saban waktu, Pemerintah Pusat pun setia melakukan pendekatan sedikit melunak, soft approach melalui berbagai program yang langsung menyentuh masyarakat akar rumput, grass root. Namun, di lain pihak–suka tidak suka–keberadaan KKB seperti meleburdanmenyatu dengan kehidupan sosial masyarakat. Ia (KKB) boleh jadi adalah produk sosial pemerintah dan masyarakat yang perlu juga mendapat perhatian ekstra karena berbagai aksi kekerasan kerap dikait-kaitkan dengan kelompok ini.
Sepanjang lahir niat baik menghentikan kekerasan dari kelompok ini, sepanjang itu pula kekerasan kerap terjadi. Kekerasan menemui ruangnya di Nduga, kabupaten yang menyatuh dalam pesona Lorentz, taman nasional terbesar Asia Tenggara seluas 2,4 juta hektar. Apa dan bagaimana KKB itu, entalah. Pastinya, kelompok ini ibarat hantu menakutkan. Pemerintah Papua, aparat keamanan, baik Polda Papua maupun Kodam Cenderawasih,tentu lebih tahu. Memandang dari jauh dan mengarahkan mata pada KKB sebagai satu-satunya sumber kekerasan, terlalu dini.
Mengapa KKB masih hidup dan kerap melakukan kekerasan bahkan tak sungkan membunuh warga, termasuk aparat keamanan?
Pertanyaan ini penting dijawab agar perlahan diketahui apa motif di balik aksi kekerasan KKB bisa terurai demi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga pemerintah dan masyarakat leluasa menyelesaikan berbagai agenda percepatan pembangunan Nduga, khususnya,dan Papua umumnya. Paling kurang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan serius.
Pertama, Presiden Jokowi perlu menggelar dialog yang melibatkan kementerian terkait, termasuk pemangku kepentingan mulai dari pusat hingga daerah. Menunda dialog akan membuka peluang kekerasan beranak pinak.
Kedua,Presiden Jokowi segera pula mengundang Gubernur Papua, Kapolda, Bupati Nduga, Kapolres, dan para tokoh masyarakat, pemimpin agama, tokoh pemuda, dan DPRP serta DPRD Nduga untuk duduk satu meja mencari format ideal penyelesaian akar konflik agar kekerasan tak berlaut-larut melanda Nduga. Ketiga, evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua guna mengetahui sejauhmana efektivitas otsus di tingkat masyarakat.
Evaluasi itu bertujuan juga mendeteksi berbagai kekurangan sekaligus mencari format baru yang lebih efektif, termasuk mempertimbangkan alokasi dana otsus dan mekanisme pengawasannya yang melibatkan masyarakat paling bawah.
Komunikasi buntu?
Mencermati kondisi Nduga belakangan, dugaan saya komunikasi antarsejumlah elemen, baik pemerintah pusat maupun dan institusi keamanan, belum berjalan baik. Sepintas, terkesan masih menemui jalan buntu. Di satu sisi, ada permintaan agar aparat keamanan di Nduga ditarik keluar dari wilayah itu guna mengurangi berbagai tindak kekerasan. Namun,di sisi lain, menarik aparat keamanan keluar dari Nduga mengganjal upaya menjaga keamanan dan ketertiban.
Konflik berpotensi lebih meluas. Insiden kontak senjata dengan anggota KKB hingga menyebabkan satu anggota Brimob terluka seperti yang terjadi Rabu, (26/2/2020), tentu tak diinginkan otoritas keamanan terulang lagi. Terang saja Kepala Kepolisian Daerah Papua,Paulus Waterpaw,menolak personil TNI-Polri non-organik ditarik dari Nduga.
Kantor berita Antara, Jumat (28/2/2020) melaporkan, Waterpaw berkeras personil TNI-Polri non-organik tak ditarik karena kehadiran aparat tersebut atas nama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.Lagi pula,disinyalir masih ada anggota KKB di wilayah itu.
Alasan lain, pengalaman traumatik pada 2 Desember 2018. Kala itu, 17 karyawan PT Istaka Karya meregang nyawa menyusul serangan KKB terhadap warga sipil dan aparat. Sedang empat orang lain hilang, tak ketahuan rimbahnya hingga kini. “Dengan adanya insiden kontak tembak hingga menyebabkan anggota kami terluka, apa pasukan harus ditarik dan jaminan apa yang diberikan pemda?” ujar Waterpaw tegas. Komunikasi terkesan masih buntu.
Kehadiran aparat TNI-Polri di Nduga masih dilihat berbeda oleh pemangku kekuasaan lokal. Wakil Bupati Nduga,Wentius Namiangge,bahkan mengeluarkan ancaman. Pihaknya bakal menempuh suaka politik bila pemerintah pusat tidak menarik pasukan dari Nduga. Karena itu, ia meminta segera lahir kejelasan penanganan pengungsi Nduga. Dalam keterangan yang dilansir media Senin (24/2/2020) Wentius mengancam, jika menunggu selama 12 bulan tetapi pemerintah pusat tidak mau mendengar lagi untuk menarik anggota TNI-Polri, ia melakukan suaka politik.
Pihaknya mengaku telah menyambangi petinggi TNI-Polri dan Menko Polhukam,Mahfud MD,untuk berkoordinasi terkait masalah Nduga. Sayangnya, ia berkilah belum ada keseriusan dari pemerintah pusat guna mengatasinya. Ancaman Wentius ini disayangkan Sekda Papua,Hery Dosinaen. Wentius dinilai Hery mengabaikan tanggung jawab sebagai pejabat negara.
Hery berjanji segera memanggil Wentius untuk mengklarifikasi ancaman tersebut. Alternatif solusi Papua umumnya dan Nduga selalu memantik perhatian pemerintah pusat akibat konflik kekerasan yang kerap terjadi. Namun, jika mau ditelusuri kembali, konflik Papua sudah berlangsung sejak integrasi. Sejak itu keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kerap mengibarkan bendera Bintang Kejora, selalu jadi momok bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Keinginan sebagian warga lepas dari Indonesia, dijembatani dengan pemberlakuakn otonomi khusus dengan kewenangan luas yang mewujud dalam berbagai peraturan di tingkat lokal,seperti Perdasi, Perdasus hingga keberadaan Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ialah wadah kultural warga asli untuk menyampaikan dan memperjuangkan aspirasinya. Dalam Heboh Papua (2010), Amiruddin al Rahab melukiskan sekilas tentang Papua dalam sengketa separatis, termasuk pengibaran Bintang Kejora dan bagaimana pola pendekatan penanganan yang efektif.
Mengutip mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Al Rahab menyebut, soal bendera Bintang Kejora, polisi saja maju. Karena, soal bendera itu masalah hukum, tidak perlu tentara. Bendera naik lima menit saja kan tidak apa-apa, dekati saja orangnya, tidak perlu dipukul. Sedang tokoh penggagas dialog damai Papua,Neles Tebai,malah mengeritik pemerintah. Pemerintah Indonesia itu omong lain, tulis lain, lakukan lain.
Menurut intelektual Papua Markus Haluk dalam Hidup atau Mati: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua (2013), kekerasan, kekerasan, dan kekerasan lagi sebagai reaksi atas berbagai berita tentang kekerasan di tanah Papua. Kekerasan seakan tak ada batas akhirnya; masih berlangsung hingga kini. Mengapa kekerasan terus-menerus terjadi di tanah Papua? Pihak yang jadi korban kekerasan mencakup warga sipil (Papua dan non-Papua) hingga anggota TNI-Polri.
Selama aksi kekerasan tidak dihentikan, selama itu pula korban akan terus berjatuhan. Nduga, hemat saya, boleh jadi adalah contoh nyata betapa aksi kekerasan mengalir sampai jauh; menganga di depan mata dan hati pemerintah dan aparat keamanan. Membiarkan masing-masing pihak menyelesaikan dengan otoritas dalam genggaman, berpeluang memuluskan aksi kekerasan terus bertahan.
Konsekuensinya, rakyat memanen mudarat ketimbang manfaat dari aksi-aksi kekerasan tersebut. Namun, di lain pihak dialog dengan semua pemangku kepentingan, baik pusat maupun lokal, termasuk pimpinan keagamaan dan kultural lokal, hemat saya jauh lebih efektif dan strategis. Dialog dalam nuansa kekeluargaan sebagai sesama anak bangsa dalam bingkai NKRI tak lebih seperti pelita di tengah lorong gelap.
Ini alternatif solusi jangka pendek. Untuk hal ini, tentu Presiden Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Papua, dan Bupati Nduga, dan para tokoh Nduga dan Papua lebih paham. Pendekatan dengan pihak-pihak yang dianggap anggota KKB perlu juga dilakukan bila keamanan dan kedamaian menjadi kerinduan kolektif. *Penulis Sekretaris Papua Circle Institute