JAYAPURA-Rentetan peristiwa kontak tembak di Provinsi Papua, khususnya di Pegunungan Tengah Papua sejak bererapa bulan terakhir ini menjadi perhatian semua pihak termasuk Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua.
Elsham mengingatkan kepada semua pihak, bahwa disetiap kasus-kasus kekerasan yang yang terjadi di papua, seperti kasus pembunuhan, penembakan maka korbannya adalah perempuan dan anak.
Direktur Elsham Papua, Pdt. Matheus Adadikam menyebutkan, kekerasan di Papua terjadi sejak lama dengan korban yang terus berjatuhan dan hampir tidak mendapatkan keadilan, perhatian dan rekonsiliasi oleh negara kendati negara sudah ada upaya KKR.
“Di dunia maya kerap mengabarkan kekerasan yang terjadi di tanah Papua, mulai dari pembunuhan Pdt Yeremia Zanambani, beberapa katekis dan pelajar. Hingga saat ini tidak ada upaya konkrit yang dilakukan pemerintah untuk menangani ini, walupun dalam pernyataan presiden dan menterinya menyatakan adanya keberpihakan. Tapi hingga saat ini di lapangan hal itu tidak terlihat. Buktinya kekerasan terus terjadi, penembakan dan pembunuhan terus terjadi di tanah Papua,” ucap Pdt Adadikam kepada Cenderawasih Pos.
Pihaknya tidak tahu kapan kekerasan di tanah Papua berakhir. Namun yang pasti perjuangan untuk melawan kekerasan dan penindasan militerisme harus terus dilakukan oleh berbagai kelompok yang peduli untuk kemanusiaan.
“Negara tidak menunjukan kehadirannya ketika rakyat mengalami penderitaan, penindasan dan bahkan ketika rakyat dibunuh. Saya tidak tahu apakah ini juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Tapi untuk Papua sendiri, itu catatan kelam yang tidak ada pernah hilang,” ucapnya.
Terkait dengan rentetan kontak tembak di Papua hingga meninggalnya Pdt Yeremia Zanambani pada pertengahan September, meninggalnya para katekis serta meninggalnya pelajar di Puncak belum lama ini akibat ditembak, Elsham sejak dulu menyuarakan penarikan pasukan non organik dan hentikan operasi militer. Karena itulah penyebab akar masalahnya.
“Jika mau menghentikan kekerasan di Papua, maka hentikan operasi militer. Karena itu skema yang sejak dulu sudah diketahui. Jika negara benar-benar peduli, jangan drop pasukan non organik ke Papua. Melainkan memberikan keleluasaan kepada pemerintah lokal, gereja, lembaga yang ada untuk menangani setiap persoalan yang terjadi di daerahnya,” tegasnya.
Pdt Adadikam menegaskan, selagi ada pengiriman pasukan yang berlebihan di Papua, maka sudah tentu selalu ada konflik. Operasi milter harus dihentikan dan pihak TPNPB-OPM harus menahan diri. Sebab, akibat dari dua konflik bersenjata ini imbasnya ke masyarakat sipil yang tidak tahu persoalan.
“Hentikan operasi militer di Papua apapun alasannya, mau itu alasan untuk melindungi aset vital negara atau apapun. Karena ujung dari operasi militer adalah korban masyarakat sipil. Hentikan operasi militer untuk menyelamatkan manusia Papua, TNI-Polri dan TPNPB-OPM harus punya komitmen sehingga jangan mengorbankan sipil,” tutupnya. (fia/nat)
sumber : ceposonline