Menyikapi upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pembela dan aktivis HAM serta aktivis Masyarakat adat. Usai aksi protes rakayat Papua terhadap ujaran rasisme, intimidasi serta persekusi yang di lakukan oleh Oknum TNI,Ormas Radikal, terhadap mahasiswa Papua yang terjadi pada tanggal 16-17 agustus 2019 di asrama kamasan III Surbaya, Jawa Timur. Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua (Elsham Papua) angkat bicara.
Direktur Elsham Papua, Pdt. Matheus Adadikam mengatakan, aksi memprotes rasisme yang dilakukan di beberapa kota besar di Papua dan Papua Barat yang dilakukan secara spontan dalam menaggapi tindakan rasisme merupakan bagian langsung dari dari perjuangan Hak Asasi Manusia [HAM] secara nasional dan di Indonesia.
“Kapolri segera membebaskan aktivis HAM Paulus Surya Anta Ginting, dengan menggunakan pasal makar serta penetapan tersangka terhadap pembela HAM Veronica Koman dengan menggunakan pasal provokator dan UU ITE ,” ujar Pdt. Matheus Adadikam saat konfrensi pers di Jayapura, Senin, [9/9/2019].
Selain itu, kata dia, aparat kepolisian juga mengirim surat Panggilan saksi kepada aktkivis HAM, Aktivis Masyarakat adat di Fak-Fak antara lain, Fredy Warpor, Samuel Rohrohmana, Abner Hegemur, Marsya Hegemur, dan ketua dewan adat Papua wilayah Bomberai merupakan tindakan pengkhianatan terhadap HAM khususnya anti rasisme secara nasional dan internasional,” katanya.
Mateus adadikam mengatakan, sebelum melakukan aksi rasisme di fak fak penaggungjawab umum aksi anti rasisme telah melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak keamanan dan telah mendapatkan surat tanda terima pemberitahuan sehingga menunjukan bahwa akasi antirasis me di fak-fak telah dilakukan sesuai dengan mekanisme demokrasi yang diamin dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
“Sehingga pemanggilan bagi aktivis ham itu bagian dari fakta pembungkaman ruang demokrasi bagi perjuangan anti rasisme di Indoensia,” katanya.
Matheus Adadikam megatakan, tindakan Rasisme merupakan tindakan yang menjadi musuh bersama pejuang hak asasi manusia diseluruh dunia sesuai dengan prinsip setiap orang berhak atas semua ha dan kebebasan-kebebasan yang tercantum didalam deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun. Seperti pembedaan ras, warna kulit jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal ususl kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
“Sebagaimana diatur pada pasal 2, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Konteks Indonesia, anti rasisme secara yuridis telah diatur pada pasal 28b ayat (2) dan pasal 28d ayat (1), UUD 1945. Selain itu diatur juga pada pasal 3 ayat (3), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnik,” katanya.
Sementara itu, Paul Mambrasar mengatakan, Lembaga studi dan advokasi HAM (ELSHAM Papua) mengaskan kepada kapolri untuk menghentikan tindakan rassisme di Indonesia.
“Kapolri untuk menghentikan kriminalisasi pasal Makar terhaddap aktvis HAM, Pembela HAM, Aktivis Elsham Papua dan aktivis masyarkat adat, katanya.
Mambrasar mengatakan, kapolri segera memebebaskan tanpa sayarat Paulus Suray Anta Ginting dan cabut sataus tersangka terhadap Veronicca Koman.
“Kapolda Papua dan Papua barat kapolres fak fak segera haentikan upaya kriminalisasi pasal makar terhadap pemeanggilan saksi kepada aktkivis HAM, Aktivis Masyarakat adat di Fak-Fak antara lain, Fredy Warpor, Samuel Rohrohmana, Abner Hegemur, Marsya Hegemur, dan ketua dewan adat Papua wilayah Bomberai,” katanya. [Aweidabii Bazil]