Realitas/Fakta: APAKAH BENAR KEKERASAN DI PAPUA DILAKUKAN OLEH TPN-PB? ADA 11 TUJUAN KONFLIK KEKERASAN NEGARA DI PAPUA

24/09/2021   09:09:02

Realitas/Fakta

Oleh : Gembala Dr. Socratez Yoman, MA

Dipublikasin lewat aku FB Socrates Nyoman, 18 September 2021

Mari, Kita Membuka Mata dan Hati Nurani Untuk Melihat dan Heran Fenomena Kekerasan Negara BERJALAN TELANJANG Di Papua

APAKAH BENAR KEKERASAN DI PAPUA DILAKUKAN OLEH TPN-PB? ADA 11 TUJUAN KONFLIK KEKERASAN NEGARA DI PAPUA

  1. “Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Ini tidak lepas kepentingan elit di Jakarta.” (AC Manulang-2012).
  2. Bagaimana kita percaya pembakaran pesawat MAF di Intan Jaya (6 Januari 2021), penembakan Kabinda Papua di Puncak (25 April 2021), penembakan dua anggota TNI di Yahukimo (18 Mei 2021), penembakan 4 anggota TNI di Maybrat (2 September 2021), penembakan dan pembakaran kantor di Pegunungan Bintang pada 13 September 2021 hanya kita memperoleh informasi dari satu pihak?

“Dunia ini sudah menjadi seperti sebuah kampung kecil, tidak seperti tahun 1960-an. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Pepera 1969 boleh direkayasa, boleh tipu-tipu, boleh bersandiwara, tapi era sekarang semua berjalan telanjang. Tidak ada kolong dan tempat untuk para penjahat bersembunyi. Karena sudah usang cara-cara rekayasa dan cara-cara primitif tidak relevan di era ini. Seluruh mata komunitas global dan rakyat Indonesia sedang melihat perilaku penguasa Indonesia yang rasisme dan fasisme di Papua.”

Pengamat Intelijen AC Manulang, Mantan Direktur Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) pernah membuka rahasia kerja-kerja intelijen Negara sebagai berikut:

“Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain (design) dari Jakarta dengan berbagai tujuan. Sangat tidak logis, aparat kepolisian tidak bisa memanfaatkan tokoh lokal yang sangat berpengaruh dan meminta warga agar tidak lepas kendali. Rekayasa kerusuhan SARA juga akan terus dipelihara di Maluku maupun kawasan Indonesia bagian Timur. Sekarang mulai merambah ke wilayah Barat. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, situasi Ambon, Lampung, Poso maupun Papua masih terus bergejolak. Ini tidak lepas kepentingan elit di Jakarta” (Sumber: Indopos, Minggu, 04 November 2012, dikutip dalam buku: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal: 2012: 215).

Roh dan pesan yang penulis tangkap dari komentar AC Manulang ialah seluruh konflik kekerasan Negara di Papua ada aktor dari Jakarta dan kepentingan Jakarta. Konflik diciptakan dan dipelihara oleh elit-elit Jakarta. Komentar ini, setidaknya AC Manulang membongkar siasat dan strategi konflik sistemik, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia atas rakyat dan bangsa Papua.

Ada 11 tujuan konflik kekerasan Negara di Papua yang dianalisa penulis sebagai berikut:

  1. Pembenaran Label/Mitos Teroris di Papua.

Negara berusaha menciptakan konflik di Papua seperti: di Nduga 2018, Intan Jaya 2019, Puncak Ilaga 2020, Yahukimo 2020, Maybrat 2 September 2021, Pegunungan Bintang 13 September 2021 untuk membenarkan/ menjastifikasi (justification) dan memperkuat pemberian label/mitos teroris kepada gerakan orang asli Papua yang telah dan sedang berjuang untuk penentuan nasib sendiri sejak 1960-an sampai saat ini. Karena, harapan dan tujuan Indonesia pemberian label/mitos teroris kepada orang Papua untuk mencari dukungan komunitas internasional, ternyata masing-masing negara mempunyai definisi “teroris” berbeda-beda.

Artinya, Indonesia tidak mencapai atau mendapat tujuan mereka untuk meraih dukungan komunitas global untuk melawan mitos “teroris” di Papua. Label/mitos teroris yang dianggap paling tinggi ini ternyata sudah menjadi sama level dengan mitos seperatis, makar, opm dan kkb yang tidak berdampak banyak untuk dukungan internasional.

  1. Pengalihan/Menghilangkan Kejahatan Negara yaitu pelanggaran berat HAM dan Pemusnahan Etnis Papua.

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari empat akar persoalan Papua salah satunya ialah pelanggaran berat HAM yang terjadi selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini telah menjadi keprihatinan dan perhatian komunitas Internasional dan juga rakyat Indonesia. Penguasa Indonesia didesak untuk penyelesaian akar konflik kekerasan Negara, pelanggaran berat HAM dan pemusnahan etnis Papua. Pelanggaran berat HAM dan pemusnahan etnis Papua yang berbasis pada diskriminasi rasial telah menjadi duri dalam tubuh bangsa Indonesia. Penguasa Indonesia berusaha menghindar dan mencuci tangan dari seluruh kekejaman Negara selama 58 tahun.

Pelanggaran berat HAM dan pemusnahan etnis Papua yang dilakukan Indonesia selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 karena ada mesin-mesin pembunuh yang digunakan penguasa Indonesia, yaitu: kolonialisme, kapitalisme, militerisme, diskriminasi rasial/rasisme, fasisme, ketidakadilan, dan sejarah penintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui Pepera 1969 yang penuh darah dan air mata yang dimenangkan militer Indonesia dengan moncong senjata yang cacat hukum dan moral yang melawan standar hukum internasional.

Ada beberapa pertanyaan yang penulis ajukan untuk para pembaca menjawabnya masing-masing sesuai tingkat analisa persoalan ini. Pertanyaan penulis sebagai berikut:

Apakah benar pesawat Mission Aviantion Fellowship (MAF) bernomor penerbangan PK-MAX yang dipiloti Alex Luferched berkembangsaan Amerika ini dibakar oleh Tentara Pembebasan Papua Barat (TPN-PB) pada 6 Januari 2021 di bandara Kampung Pagamba Distrik Mbiaduga, Kabupaten Intan Jaya?

Apakah benar Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Putu Gusti Danny Nugraha Karya ditembak mati oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) pada Minggu, 25 April 2021 di Kabupaten Puncak?

Apakah benar penembakan dua anggota TNI Satgas Pamrahwan Yonif PR 432/WSJ, Praka Yudi Aryanto dan Praka Alif pada 18 Mei 2021 di Kali Brasa Dekai, Kabupaten Yahukimo dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-TPN-PB?

Apakah benar pembunuhan dengan cara yang biadab, kejam dan babar terhadap 4 anggota TNI, yaitu Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu chb Dirman di kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kab. Maybrat pada 2 September 2021 dilakukan oleh TPN-PB?

Mengapa korban lebih banyak anggota TNI berpangkat rendah, kecuali Kabinda Papua dan diberitakan atau disiarkan secara luas, besar-besaran dan masif di media-media utama nasional?

Mengapa penembakan ratusan ribu orang asli Papua yang ditembak mati selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 belum dan tidak pernah disiarkan secara luas dan masif di media-media nasional dan terbungkam 1000 bahasa?

Para pembaca yang mulia yang masih memiliki hati nurani kemanusiaan melihat kejahatan dan kekejaman ini dengan jernih, supaya pihak TNI-Polri tidak kambing-hitamkan TPN-PB dan rakyat Papua dan rakyat Indonesia tidak bertanya-tanya, fenomena apa yang terjadi di Papua, pulau surga kecil yang jatuh di bumi ini.

Para pembaca mulia dan terhormat. Mari, kita, renungkan, kritisi, dan analisa pernyataan ini. Kita jangan kambing-hitamkan Orang Asli Papua. Kita harus membuka lensa penguasa sebagai penindas dan penjajah rakyat dan rakyat West Papua selama ini. Kita harus menggunakan lensa Tuhan, lensa kemanusiaan, lensa keadilan, lensa kebenaran, lensa kejujuran, lensa kasih.

Pada 6 April 2013 acara peresmian Tugu Injil di Beoga, Kabupaten Puncak, Dandim 1714 Puncak Jaya pada malam hari kami diskusi tentang anggota TNI menjual senjata dan amunisi kepada anggota TPN-PB pernah mengatakan:

“Kami rasa takut yang ada di dalam dan kami juga takut kepada mereka yang ada di luar. Karena kami ada keluarga yang kami tinggalkan di Jawa. Mereka mau kami kembali kepada mereka dalam keadaan selamat.”

Apa maksud dan pesan dari Dandim 1714 Puncak Jaya ini? Siapa yang ada di dalam perlu ditakuti dan diwaspadai? Pesan seperti ini dimaknai, ditafsirkan dan dianalisa, bahwa semua kekerasan dan kejahatan yang terjadi di Papua selama ini patut dipertanyakan. Terlalu prematur, TPN-PB selalu dikambing-hitamkan sebagai aktor kekerasan.

Menurut penulis, sejauh belum ada Tim investigasi independen dan kredibel untuk mencari bukti-bukti atau fakta-fakta tentang seluruh kekerasan yang terjadi Papua, maka kekerasan tidak akan pernah berhenti. Sebaliknya, antar TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) saling tuding dan lebih mengkambing-hitamkan TPN-PB atau tiduhan dengan mitos KKB/KKSB.

Terjadi kekerasan Negara yang berjalan telanjang ini bertujuan untuk pengalihan dan penghilangan serta menutupi seluruh pelanggaran berat HAM dan pemusnahan etnis Papua yang dilakukan Negara selama 58 tahun yang sudah menjadi perhatian, keprihatinan dan kepedulian serta soroton komunitas internasional.

  1. Remiliterisasi/Membangun Infrastruktur/Instalasi militer.

Dewan Gereja Papua (WPCC) telah menyatakan dengan surat terbuka pada 7 Oktober 2020, bahwa:

“Kepada Presiden Joko Widodo Selaku Panglima Tertinggi TNI/POLRI Rakyat Papua bukan Musuh NKRI, Stop REMILITERISASI Tanah Papua dan Tindaklanjuti Janji Presiden untuk Bertemu Kelompok Pro-referendum Papua” (Sumber: JEJAK KEKERASAN NEGARA DAN MILITERISME DI TANAH PAPUA: Yoman, 2021: 176).

Di seluruh Tanah Papua Barat dari Sorong-Merauke sedang terjadi REMILITERISASI dengan alasan ada ancaman Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang membahayakan keselamatan keutuhan wilayah Indonesia. Remiliterisasi dan Kekerasan Negara ini bagian integral yang tak terpisahkan dari “Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikasi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Nota Dinas No.578/ND/KESBANG/DIV/VI/2000, 9 Juni 2000). Dan Dokumen Ketahanan Nasional Sekretariatan Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tanggal 28 Mei 2000.

Arkilaus Baho, Juru bicara DPP PRIMA Urusan Papua dan Papua Barat dalam menanggapi pembunuhan 4 anggota TNI: Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu chb Dirman di kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kab. Maybrat pada 2 September 2021 dengan tepat mengatakan:

“Ada apa ini? Pembukaan pos teritorial disaat yang sama menguat kelompok yang klaim diri bahkan diklaim oleh aparat dengan label KKB” Diduga bahwa “labelisasi KKB dan skenario penyerangan hanya untuk meyakinkan pemerintah agar perkuat percepatan dan perluasan operasi teritorial.”

Ada yang aneh terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang pada 13 September 2021. Bakar fasilitas pelayanan umum dan kelompok yang menamakan diri TPN-PB mengatakan:

“Kami menolak semua fasilitas pemerintah dan bakar semua gedung-gedung kantor pemerintah.”

Apakah TPN-PB berjuang untuk bakar-bakar gedung-gedung kantor untuk fasilitas pelayanan publik? Ini perjuangan yang aneh, dan bukan pejuang Papua Barat merdeka. Ini TPN-PB benaran atau kelompok yang dibina dan dipelihara khusus untuk membuat keonaran.

  1. Kepentingan Bisnis/Kapitalisme.

Sejarah mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan bisnis atau kapitalisme selalu terulang dari waktu ke waktu sesuai tempat dan kebutuhan para penguasa dan para pemodal. Seperti di Nduga ada emas, di Intan Jaya ada emas, di Puncak Ilaga ada emas, di Yahukimo ada emas, di Maybrat ada emas, di Pegunungan Bintang ada emas. Dimana ada emas disitu selalu diciptakan konflik supaya penduduk setempat sebagai pemilik emas itu harus diusir atau diungsikan dengan alasan wilayah sudah tidak aman bagi rakyat.

Setelah pemilik tambang diusir atau diungsikan, aparat keamanan dari TNI-Polri hadir membangun pos pengamanan dan diikuti pemilik modal untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA).

Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang kaya raya seperti susu dan madu menjadi motivasi pendudukan dan penjajahan Indonesia yang ditopang oleh kapitalisme Amerika demi kepetingan ekonomi dan eksploitasi tambang emas dan uranium di Papua.

Contoh yang perlu diketahui ialah kepentingan Kapitalisme di Papua mengorbankan tiga tokoh penting, yaitu: (a) Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarkskjold di Kongo pada 17/18 September 1961; (b) Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963; Presiden John F Kennedy tewas ditembak oleh Lee Harvey Oslwald. (c) Dilengserkan Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia, pada tahun 1965 dengan tuduhan pendukung Komunis.

Tiga orang yang diangggap penghambat kepentingan ekonomi di Papua ini dikorbankan. Para pemilik modal dengan secepatnya membuat perjanjian kontrak kerja PT Freeport Mc.Moran dengan Soeharto pada 7 April 1967 untuk tambang dan uranium di Namangkawi/Ndugu-Ndugu (Tembagapura). Perjanjian kontrak kerja ini dibuat dua tahun sebelum Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata melalui rekayasa Pepera 1969 yang cacat hukum dan moral yang melawan standard kaidah-kaidah atau hukum Internasional.

  1. Laporan Sidang Umum PBB.

Kekerasan Negara meningkat di Papua dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) yang murni atau dibina dan dipelihara dikambing-hitamkan dengan tujuan untuk menjadi Laporan pelanggaran HAM Indonesia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lebih jelas dibaca dan bandingkan pada nomor 2 dari artikel ini dengan topik: Pengalihan/Menghilangkan Kejahatan Negara yaitu pelanggaran berat HAM dan Pemusnahan Etnis Papua.

  1. Menghambat Kunjungan Komisi HAM PBB di Papua.

Memang sejak dulu Papua dikelola dan dipelihara sebagai wilayah konflik. Tujuannya supaya Indonesia ada alasan untuk tidak mengijinkan diplomat asing, wartawan asing, dan juga wartawan Indonesia masuk untuk mencari dan meliput berita-berita dan keadaan serta kejadian orang asli Papua yang sebenarnya.

Belakangan ini, kekerasan Negara diciptakan dimana-mana, maka ada alasan pemerintah Indonesia tidak mengijinkan Komisi HAM PBB berkunjung ke Papua Barat.

Keadaan seperti ini, pertanyaan yang akan dipertanyakan kepada Indonesia oleh Komisi HAM PBB, diplomat asing, wartawan asing dan wartawan Indonesia ialah pemerintah Indonesia sedang menyembunyikan apa di Papua?

Menurut saya, ada konsekwensi logisnya sangat berat bagi Indonesia kalau Komisi HAM PBB, diplomat asing dan wartawan asing tidak diijinkan, maka mobilisasi komunitas internasional untuk resolusi PBB akan dimotori dari Negara-Negara anggota MSG, PIF, ACP dan sudah tergabung dalam 85 Negara yang sedang mempersoalkan kunjungan Komisi HAM PBB ke Papua. Dalam keadaan pada tahap inisiatif resolusi PBB seperti ini, maka Indonesia akan membayar high cost (harga yang sangat mahal), yaitu Indonesia akan mengeluarkan uang tidak sedikit sementara utang Negara sudah mencapai ratusan triliun. Dalam keadaan seperti ini, Indonesia akan menjadi Negara kolap dan stagnan dan akhirnya setiap pulau bisa saja meminta lepas dari Indonesia.

Indonesia menghadapi situasi seperti makan buah SIMALAKAMA, yaitu buah dimakan ayahnya mati dan buah tidak makan ibunya mati. Jadi, pilihan yang bermartabat untuk selamatkan Indonesia yang utuh penting dan mendesak dilakukan ialah ijinkan Komisi HAM PBB, diplomat asing dan wartawan asing diijinkan masuk Papua.

  1. Melawan ULMWP.

Rakyat dan bangsa Papua Barat dari keterpecahan dan kelompok-kelompok perjuangan dengan kreatif, inovatif dan cerdas membuat satu rumah besar, rumah bersama, perahu besar, dan honai besar, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang menyatukan seluruh faksi perjuangan.

ULMWP yang didirikan di Vanuatu pada 7 Desember 2004 yang mempersatukan tiga arus utama perjuangan Papua Barat merdeka, yaitu NRFPB, WPNCL, NPWP dan sudah setingkat dengan Palestine Liberation Organization (PLO); Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (FRETELIN); dan Africa National Congres (ANC). Karena, ULMWP adalah roh dari OPM.

Victor Mambor mengatakan: “Dulu OPM, kini ULMWP.” (Sumber: Kami Bukan Bangsa Teroris: Yoman, 2021: 57).

Kesan saya, sepertinya pemerintah Indonesia kewalahan dalam diplomasi di level internasional, karena ULMWP ada di MSG, ada di PIF, ada di ACP dan ada di forum-forum internasional. Untuk mematahkan semangat ULMWP, penguasa Indonesia menciptakan konflik kekerasan di Papua untuk menghadapi diplomasi dan lobi-lobi politik yang dilakukan ULMWP.

  1. Kriminalisasi TPN-PB dan KNPB.

Kekerasan-kekerasan ini untuk mengkambing-hitamkan dan mereduksi perjuangan yang dilakukan oleh TPN-PB. KNPB juga dituduh terlibat dalam berbagai kekerasan di Papua, tapi KNPB telah memberikan pernyataan tegas bahwa KNPB bukan wadah kekerasan, tapi media rakyat untuk perlawanan damai.

Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Maybrat, Rudolof Fatem, membantah tudingan miring Kapolres Sorong Selatan AKBP Choiruddin Wachid, yang menyatakan KNPB wilayah Kisor adalah aktor sekaligus eksekutor dalam pembunuhan 4 anggota TNI AD di Kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.

“Kami tidak tahu dengan insiden pembunuhan terhadap 4 anggota TNI di Kisor Sorong Selatan. Polisi Jangan mengkriminalisasi KNPB Maybrat dengan klaim sepihak yang tidak mendasar.” (Sumber: Jubi, 5/9/2021).

  1. Kepentingan Pemekaran Provinsi.

Kekerasan Negara ini juga untuk meloloskan Provinsi Papua Tengah yang dimotori oleh Haji Dr. Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. Provinsi jumlah penduduk terbatas dan sumber daya manusia terbatas tapi alasan kepentingan dan keamanan nasional, maka provinsi prematur ini dipaksakan dengan watak negara fasis dan juga rasis.

Tapi, tantangan terberat dan terbesar yang dihadapi Indonesia dan lebih khusus Menteri Dalam Negeri Indonesia ialah biaya pemekaran provinsi sangat besar, sementara Indonesia dirundung dan dibebani utang luar negeri yang mencapai ratusan triliunan rupiah. Kebijakan Negara yang tidak rasional dan realistis dan pemaksaan ini membawa Negara Indonesia dalam bahaya kehancuran. Apakah mau selamatkan NKRI atau paksakan pemekaran provinsi?

  1. Kepentingan Sukseskan PON 2021.

PON 2021 tidak ada manfaat dan keuntungan bagi orang asli Papua. Karena, pesawat milik orang pendatang, kapal milik orang pendatang, hotel milik orang pendatang, restoran milik orang pendatang, angkutan umum milik orang pendatang, semua jasa yang tersedia milik orang pendatang dan orang asli Papua menjadi penonton dan tidak mendapatkan apa-apa. Orang Papua asli dapat Stadium Lukas Enembe, pembangunan infrastruktur lain yang dibangun dalam kepentingan PON 2021.

Jadi, PON 2021 lebih pada muatan kepentingan politik Indonesia untuk meyakinkan komunitas internasional, bahwa di Papua aman-aman saja. Karena, PON 2021 dilaksanakan di Papua. Tapi, pertanyaannya ialah manfaat dan keuntungan apa yang diperoleh orang asli Papua dari PON 2021? Apakah dengan PON 2021 seluruh persoalan dan pelanggaran berat HAM di Papua dianggap selesai?

Kekerasan diciptakan supaya ada alasan atau dasar untuk menambah pasukan TNI-Polri dari luar Papua untuk menjaga keamanan pelaksanaan PON 2021. Penambahan pasukan tentu membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.

  1. Pemusnahan Etnis Papua dan Marjinalisasi Orang Asli Papua.

Kekerasan dan kejahatan yang ditimbulkan ini bagian dari siasat Negara yang sistematis, terstruktur, terlembaga, masif dan kolektif untuk memusnahkan dan meniadakan orang asli Papua dari Tanah milik mereka. Konflik diciptakan supaya orang asli Papua tidak merasa nyaman dan melarikan diri dari kampung halaman, tidak ada makanan, minuman, tidak ada pelayanan kesehatan yang baik, maka menimbulkan sakit dan menuju pada kematian. Pembiaran kematian orang asli Papua dengan keadaan sadar. Ini kejahatan kemanusiaan yang melampaui batas-batas rasa keadilan dan kemanusiaan.

Marjinalisasi/peminggiran atau pengusiran Orang Asli Papua dari Tanah air mereka adalah tindakan kekejaman, kejahatan, barbar dan kriminal yang mencelakakan dan menghancurkan orang-orang asli Papua sebagai pemilik Tanah.

Pemusnahan dan marjinalisasi orang asli Papua juga dengan memperburuk dan menghancurkan pilar pendidikan, kesehatan dan ekonomi orang asli Papua. Realitas ini, fakta ini, keadaan ini, membuktikan bahwa orang asli Papua tidak ada masa depan dalam Indonesia. Karena Indonesia mempunyai mesin-mesin penghancur dan pembunuh orang asli Papua, yaitu: kolonialisme, kapitalisme, militerisme, rasisme, fasisme, ketidakadilan yang menjadi luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia pelanggaran berat HAM yang menuju pada PEMUSNAHAN ETNIS Orang Asli Papua yang disebabkan dari proses sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.

Ada tujuan lain dari penguasa Indonesia menciptakan konflik di Papua, tapi, ini beberapa tujuan yang penulis amati dan sampaikan dalam artikel ini. Mari, Kita Membuka Mata Untuk Melihat dan Heran Fenomena Kekerasan Negara BERJALAN TELANJANG Di Papua.

Tulisan ini juga membantah penyataan Sebby Sambom sangat provokatif dan tanpa dibuktikan dengan data-data lapangan. Sebby Sambom mengaku diri jurubicara TPN-PB/OPM atau orang yang dibina khusus oleh orang-orang khusus untuk provokasi di media-media sosial. Orang ini patut dicuriga karena selalu muncul dengan cepat di media sosial pada saat terjadi konflik di Papua.  Apakah Sebby Sambom ini provokator atau promotor kekerasan? Pernyataan-pernyayaan Sebby selama ini bertentangan dengan visi perjuangan rakyat dan bangsa Papua dengan jalan damai sesuai era modern dan berteknologi tinggi yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, kesamaan derajat dan perdamaian.

Pernyataan Sebby Sambom tidak dibenarkan. Pernyataan yang sangat prematur dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Peristiwa penembakan 4 orang anggota TNI, masing-masing: Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu chb Dirman di kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kab. Maybrat perlu diselidiki oleh Tim investigasi independen untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan kemanusiaan ini dan apa motivasinya.

Akhirnya, penulis menyampaikan: Negara atau pemerintah model apa Indonesia ini? Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang mengorbankan rakyat sipil dan aparat keamanan, tapi tidak ada penyelesaian yang beradab dan adil untuk mengakhiri dan memotong rantai-rantai kekerasan yang menggurita selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963. Jangan hanya tujuan dan ambisi kekuasaan atas ekonomi di Papua, terjadi pembiaran situs-situs kekerasan sistematis, masif dan kolektif yang berkelanjutan.

Doa dan harapan penulis, tulisan ini menjadi berkat dan membuka sedikit tabir kegelapan di Papua.

Selamat membaca dan merenungkan!

Ita Wakhu Purom, Jumat, 17 September 2021

Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=584723145903769&id=100030982654360&sfnsn=wiwspwa


Berita Terkait